Pendapat Mujtahid dan Imam Madzab

Juli 27, 2007 at 3:12 pm Tinggalkan komentar

PARA MUJTAHID BERPEGANG PADA HADITS

Setiap imam empat melakukan ijtihad sesuai dengan hadits yang telah sampai kepadanya. Maka terjadinya perbedaan pendapat antara mereka bisa jadi dikarenakan ada imam yang sudah mendengar hadits tertentu, sementara imam yang lain belum mendengar hadits tersebut. Hal itu disebabkan hadits-hadits waktu itu belum ditulis dan para penghafal hadits telah berpencar-pencar. Ada yang di Hijaz, Syam, Irak, Mesir, dan di negeri-negeri Islam lainnya. Mereka hidup di suatu zaman di mana transportasi sangat sulit. Untuk itu kita lihat Imam Syafi’I telah meninggalkan pendapatnya yang lama ketika pindah ke Mesir dari Irak dan memperhatikan hadits-hadits yang baru di dengar.

Ketika kita melihat Imam Syafi’I berpendapat bahwa wudhu’ bisa batal karena menyentuh wanita sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu’, maka kita harus kembali kapada hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisaa’:59)

Karena kebenaran tidak mungkin lebih dari satu, sehingga tidak mungkin hukum menyentuh wanita itu membatalkan wudhu’ dan tidak membatalkannya. Padahal Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau adalah sebaik-baik penafsir Al-Qur’an pernah menepiskan Aisyah, padahal beliau sedang shalat. (HR. Al-Bukhari)

Jika Imam Syafi’I mendengar hadits ini atau jika hadits tersebut dianggap shahih, maka ia tidak akan mengatakan bahwa wudhu’ batal karena menyentuh lain jenis, sebagaimana ia telah mengatakan: Jika suatu hadits itu shahih maka itulah madzhab saya.

Dan kita juga tidak diperintahkan kecuali mengikuti Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah dan keterangan-keterangan Rasulullah dengan hadits-hadits shahihnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran daripadanya. (Al-A’raf:3)

Maka seorang muslim yang mendengarkan hadits shahih tidak boleh menolaknya, karena hal itu bertentangan dnegan madzhab Imam Syafi’i. Para Imam Madzab telah melakukan ijma’ untuk mengambil hadits shahih dan meninggalkan setiap pendapat yang bertentangan dengan hadits shahih tersebut.

Akibat dari fanatisme madzhab tentang batalnya wudhu’ karena menyentuh wanita telah menyebabkan orang asing mengambil gambaran yang jelek tentang Islam. Salah seorang penduduk Makkah menceritakan kepada saya bahwa ia pernah membaca suatu majalah di Jerman yang menulis suatu judul dengan tulisan yag menyolok: Islam menganggap wanita sebagai sesuatu yang najis separti halnya anjing. Mereka mengatakan demikian setelah mendegar bahwa orang-orang Islam mencuci tangannya jika menyentuh waita, sehingga mereka memahami bahwa wanita adalah najis. Padahal jika mereka mengetahui bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mencium seorang istrinya kemudian langsung shalat tanpa wudhu’ tentu tidak akan mengatakan perkataan pedas tersebut yang justru bukan dari Islam. Fanatisme madzhab yang serupa telah membuat tabir antara orang kafir dan Islam melihat wanita sebagai sesuatu yang najis seperti najisnya anjing.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah menyebutkan dalam bukunya Raf’ul Malaam ‘Anil A’immatil A’laam hal-hal yang baik tentang para Imam tersebut dan barang siapa yang salah di antara mereka akan mendapat satu pahala dan jika benar akan mendapat dua pahala, dan itu dilakukan setelah berijtihad. Semoga Allah mengasihi para Imam dan memberinya pahala.

BEBERAPA PENDAPAT IMAM MADZHAB TENTANG HADITS

Berikut ini disebutkan beberapa pendapat Imam madzhab yang dapat menjelaskan kebenaran kepada para pengikut mereka:

Imam Abu Hanifah, yang ajaran-ajaran fiqihnya menjadi pijakan orang, berkata:

1. Tidak boleh seseorang mengambil pendapat kami sebelum mengetahui dari mana kami mengambilnya.

2. Haram bagi yang tidak mengetahui dalil saya kemudian memberi fatwa dengan kata-kata saya, karena saya adalah manusia biasa, yang sekarag bicara sesuatu dan besok tidak bicara lagi.

3. Jika saya mengucapkan pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an serta hadits Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam maka tinggalkanlah perkataan saya.

4. Ibnu Abidin berkata dalam bukunya: Jika hadits itu shahih dan bertentangan dengan madzhab, maka haditslah yang dipakai dan itulah madzhabnya. Dan dengan mengikuti hadits itu, tidak berarti penganutnya telah keluar dari pengikut Hanafi. Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau berkata: Jika hadits itu benar maka itulah madzhab saya.

Imam Malik, Imam penduduk Madinah, berkata:

1. Sesungguhnya saya adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikanlah secara kritis pendapatku, yang sesuai dengan kitab dan sunnah ambillah, dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan sunnah tinggalkanlah.

2. Setiap orang sesudah Nabi bisa diambil ucapannya dan bisa ditinggalkan, kecuali Nabi Shallahu ‘Alaihi wa Sallam .

Imam Syafi’i dari keluarga Ahli Bait, berkata:

1. Setiap orang ada yang pendapatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ada yang tidak sesuai. Jika saya berkata dengan suatu pendapat atau berdasarkan sesuatu pendapat dari Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam , tapi kenyatannya bertentangan dengan ucapan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam , maka pendapat yang benar adalah ucapan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dan itulah pendapat saya.

2. Orang-orang Islam telah melakukan ijma’ bahwa barangsiapa yang jelas mempunyai dalil berupa sunnah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam maka tidak dihalalkan bagi seorangpun meninggalkannya karena ucapan orang lain.

3. Jika kamu mendapatkan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam buku saya maka ikutilah ucapan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dan itulah pendapat saya juga.

4. Jika suatu hadits itu shahih maka itulah madzab saya.

5. Beliau berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal: Anda lebih pandai dari saya tentang hadits dan keadan para periwayat hadits, jika anda tahu bahwa sesuatu hadits itu shahih maka beritahukanlah kepada saya sehingga saya akan berpendapat dengan hadits itu.

6. Setiap masalah, yang mempunyai dasar hadits shahih menurut para ahli hadits, dan bertentangan dengan pendapat saya maka saya akan kembali pada hadits tersebut selama hidup atau sesudah mati.

Imam Ahmad bin Hambal, Imam para pengikut Ahli Sunnah, berkata:

1. Jangan engkau bertaklid kepadaku atau Imam Syafi’I atau Imam Auza’I atau Imam Ats-Tsaury tapi ambillah dari mana mereka mengambil.

2. Barangsiapa menolak hadits Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wa Sallam , maka ia berada ditepi kehancuran.

———————

Diketik ulang dari: Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu. Penerbit: Darul Haq, Jakarta. Cet. IV, Dzulqa’dah 1421 H/Februari 2001 M, hal.193-199

Request: Kami Ingin Mencari Affiliasi Islam Secara Online, Bagi Yang Ingin Membantu Kami Mohon Hubungi Kami Melalui “Request Page”
Affiliasi Islamic Center Al Atsary Sawahlunto Sijunjung sementara sampai saat ini:
KisahIslam.Com, MediaMuslim.Info, ArsipMuslim.CO.NR, ArsipMoslem Blogs, Arsip Siroh Blogs, EtikaIslam Blogs, HaditsArbain, KitabTauhid Blogs

Entry filed under: Artikel Islam, Artikel Manhaj.

Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah (bag 4) Kitab-kitab Yang Terlebih Dahulu dipelajari Bagi Penuntut Ilmu

Tinggalkan komentar

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Juli 2007
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031  

Komentar Sesaat

Blog Stats

  • 9.343 hits

Feeds

RSS Abu Salma Blogs

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

RSS Media Muslim Indonesia

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.